BAB.I PENGERTIAN HUKUM WARIS
Hukum waris di Indonesia
masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk tunduk kepada
hukumnya masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat
yang beragama islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai
tatacara pembagian harta pusaka, besarnya bagian antara anak lakilaki dengan
anak perempuan, anak angkat, lembaga peradilan yang berhak memeriksa &
memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan diantara para ahli
waris dan lain sebagainya. masing-masing golongan penduduk tunduk kepada
aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS
Yo. Pasal 131 IS.Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
- Golongan Eropa & yang dipersamakan dengan mereka
- Golongan Timur Asing Tionghoa & Non Tionghoa
- Golongan Bumi Putera.
Berdasarkan peraturan
Perundang-undangan R. I. UU No. 62 / 1958 & Keppres No. 240 / 1957
pembagian golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan tentang hukum waris
ini dapat dilihat di dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat & Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ( BW ).
Untuk golongan masyarakat
non muslim, mereka tunduk kepada hukum adatnya masing-masing disana sisi
dipengaruhi oleh unsur-unsur agama & kepercayaan. Begitu juga terhadap
golongan eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, aturan tentang hukum waris
ini aspirasinya separuhnya diserahkan kepada hukum perdata eropa ( kitab
undang-undang hukum perdata ).
Dari penjelasan tersebut
diatas, mengakibatkan pula terjadinya perbedaan tentang arti & makna hukum
waris itu sendiri bagi masing-masing golongan penduduk. Artinya belum terdapat
suatu keseragaman tentang pengertian & makna hukum waris sebagai suatu
standard hukum ( pedoman ) serta pegangan yang berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia . Namun demikian semua pihak berpendapat bahwa apabila
berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3 (
tiga ) unsur pokok yakni :
- Adanya harta peninggalan ( kekayaan ) pewaris yang disebut warisan
- Adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan & mengalihkan atau meneruskannya, dan
- Adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan ( penerusan ) atau pembagian harta warisan itu .
Menurut hukum kewarisan
islam ( hukum faraidh ), pengertian hokum waris menurut istilah bahasa ialah
takdir ( qadar / ketentuan, dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang
diqadarkan / ditentukan bagi waris.Dengan demikian faraidh adalah khusus
mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra “. (
H. Abdullah Syah, 1994 : 4 )
Kemudian ditinjau dari
Hukum Adat, pengertian hukum waris adalah Aturan -aturan yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan & peralihan dari harta kekayaan yang
berwujud & tidak berwujud dari generasi pada generasi .( Ter Haar , 1950
: 197 ).
Sedangkan hokum adat waris
menurut Supomo adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda (IMMATERIELE GOEDEREN) dari
suatu angkatan manusia ( generasi ) kepada turunannya .( Supomo, 1967 : 72 )
Sedangkan Kitab
Undang-undang hukum perdata ( BW ) juga memberikan batasan tentang pengertian
& defenisi hukum waris sebagai suatu pedoman, adapun
pengertian tersebut, adalah
seperti terurai dibawah ini. Menurut Pasal 830 BW :Pewarisan hanya berlangsung
karena kematian .Pasal 832 BW berbunyi :Menurut Undang-undang yang berhak untuk
menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah baik syah maupun luar kawin
& si suami atua isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera
dibawah ini, dalam hal bilamana baik keluarga sedarah maupun yang hidup terlama
diantara suami isteri tidak ada, maka segala harta peninggal si yang meninggal
menjadi milik negara yang mana wajib melunasi segala utangnya , sekedar harga harta
peninggalan mencukupi untuk itu .
BAB II.PEMBAHASAN KEBERADAAN HUKUM WARIS
A.
Keberadaan Hukum
waris Islam.
Sebagaimana diketahui
bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh.Faraidh menurut
istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian
yang diqadarkan / ditentukan bagi waris dengan demikian faraidh adalah khusus
mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara . Demikian
demikian faraidh diatur antara lain tentang tata cara pembagian Harta Warisan ,
besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, pengadilan mana
yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa warisan, dan lain sebagainya.
Pada waktu Agama Islam
belum datang ketanah Arab, manusia masih mempergunakan hukum waris dalam bentuk
peraturan yang tumpang tindih dan salah, bertentangan dengan fitrah manusia.
Orang Arab jahiliyah tidak memberikan warisan pada yang lemah seperti
wanita-wanita dan anak-anak tetapi mereka memberikan warisan kepada laki-laki
yang dewasa dan anak angkat yang mereka pelihara sehingga dengan demikian
kadang-kadang kerabat mereka tidak mendapat warisan atau berkurang bagiannya
oleh anak angkat tersebut. Dengan demikian hak-hak kerabat telah dirampas oleh
anak angkat dengan cara yang memudharatkan dan
permusuhan. Hukum ini lahir dari
hawa nafsu mereka belaka dan berdasarkan hukum adat yang otoriter. Ratio yang
memberikan harta warisan kepada laki-laki yang dewasa dan anak angkat seperti
tersebut diatas karena kaum laki-lakilah yang mampu menghadang musuh dalam
peperangan dan yang dapat membentangi suku dari serangan-serangan suku lain.
Sedangkan kaum wanita dianggap hanya membuat onar , aib , serta menghabiskan
harta yang ada .Oleh karena itulah meraka menetapkan wanita dan anak-anak tidak
berhak menerima warisan.
Kemudian Agama Islam datang
dengan aturan –aturan yang adil, tidak membedakan antara ahli waris laki-laki
dan perempuan, kecil ataupun besar semua mendapat bagian sesuai ayat Al-Qur’an yang artinya :Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
( pula ) dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, baik sedikit ataupun
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan . Bagian harta peninggalan
sipewaris yang akan dinikmati oleh para ahli waris baik anak laki maupun anak
perempuan kemudian ditetapkan oleh Allah didalam Al- Qur’an yang artinya
sebagai berikut :Allah mensyariatkan bagimu ( tentang pembagian pusaka ) untuk
anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan.Jadi jelaslah bahwa pembagian harta warisan ( pusaka ) menurut
syariat Islam tunduk kepada yang telah ditetapkan oleh Allah Swt yakni bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 ( dua ) orang anak perempuan atau 2
( dua ) berbanding 1 ( satu ). Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A
KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) menyatakan :Hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan ( Tirkah ) pewaris,
menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing “. Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang : “ Besar
bagian untuk seorang anak perempuan adalah setengah ( ½ ) bagian ; bila 2 ( dua
) orang atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga ( 2/3 ) bagian ;
dan apabila anak perempuan bersama-bersama dengan anak laki-laki maka bagiannya
adalah 2 ( dua ) berbanding 1 ( satu ) dengan anak perempuan “. Dan Pasal 183
KHI menyatakan :
“ Para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing menyadari bagiannya “. Dari uraian tertera diatas, nampak bahwa
antara apa yang telah ditetapkan didalam ayat Al-Qur’an dengan yang terdapat dalam
KHI khususnya mengenai besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak
perempuan dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sipewaris adalah
sama yakni 2 ( dua ) berbanding 1
( satu ). Berhubung oleh kerena
Al-Qur”an dan haidst Nabi hukumnya wajib dan merupakan pegangan / pedoman bagi
seluruh umat Islam dimuka bumi ini, maka ketentuan-ketentuan pembagian harta
warisan ( pusaka ) inipun secara optimis pula haruslah ditaati dan dipatuhi. Al
- Qur ‘ an menyatakan yang artinya : “ Bagilah pusaka antara ahli-ahli waris
menurut Kitab Allah “. Kemudian adalah sebagai berikut : “ ( hukum-Hukum
tersebut ) itu adalah ketentuan Allah ) Barang siapa yang taat kepada Allah dan
Rasulnya. Niscaya Allah memasukan kedalam syurga yang mengalir didalamnya sunga-sungai,
sedang mereka kekal didalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar “. Dari
keterangan diatas, jelaslah ditegaskan bahwa tentang warisan supaya dilaksanakan
sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan dan memberikan pahala syurga bagi
yang mematuhi dan mengancam dengan azab api neraka terhadap yang menolaknya dan
mengikarinya. Dengan perkataan lain Islam telah mengatur dengan pasti tentang
hukum waris yang berlaku bagi pemeluknya. Disamping itu sesuai dengan kemajuan
dan perkembangan zaman serta pendapat para ahli dikalangan umat islam, maka
hukum waris islam dituangkan kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut KHI
( Kompilas Hukum Islam ). Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi antara lain
mengenai : Pasal 209 KHI menyatakan :
1.“ Harta peninggalan anak
angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas,
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajiblah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2.“ Terhadap anak angkat yang
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat
orang tua tuang angkat. Dari pasal tersebut diatas, bahwa anak angkat yang
sebelumnya menurut Hukum Islam tidak berhak menerima harta warisan orang tua
angkatnya kecuali pemberian pemberian dan lain-lain, maka sekarang dengan
berlakunya KHI terhadap anak angkatnya mempunyai hak dan bagian yang telah
ditetapkan yaitu sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya, apabila
anak angkat tersebut tidak menerima wasiat Istilah ini dikenal dengan sebutan
wasiat wajibah. Selanjutnya didalam hukum kewarisan islam menganut prinsip
kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Maka dengan
demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak Bapak atuapun pihak
Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak
laki-laki ataupun pihak perempuan saja. Ahli waris dalam Hukum Islam telah
ditetapkan / ditentukan yakni terdiri dari :
1. PEREMPUAN
Wanita yang menerima pusaka adalah sebagai berikut :
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan
c. Ibu
d. Nenek, Ibu dari Ibu
e. Nenek, Ibu dari Bapa
f. Saudara perempuan se Ibu dan Bapa
g. Saudara perempuan se Bapa
h. Saudara perempuan se Ibu
i. Isteri
j. Perempuan yang memerdekakan ( tidak ada lagi )
2. LAKI - LAKI
jika dikumpulkan maka laki-laki
yang mendapat harta pusaka terdiri dari 15 ( lima belas ) orang yaitu :
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Bapa
d. Datuk, Bapa dan Bapa
e. Saudara laki-laki se Ibu se Bapa
f. Saudara laki-laki se Ibu
g. Saudara laki-laki se Bapa
h. Anak laki-laki saudara laki-laki se Ibu dan se bapa
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se Bapa
j. Mamak se Ibu se Bapa, saudara bapak laki-laki se Ibu se
Bapa
k. Mamak se Bapa, saudara laki-laki Bapa laki-laki se Bapa
l. Anak laki-laki dari Mamak se Ibu se Bapa
m. Anak laki-laki dari Mamak se Bapa
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan sahaja ( tidak berlaku lagi
)
3. ZUL ARHAM
Yaitu kaum keluarga yang lain
yang tidak memperoleh pembagian pusaka, akan tetapi hanya berdasarkan hubungan
kasih sayang, ataupun disebut anak kerabat yang tidak termasuk zawil furud dan
juga tidak termasuk didalamnya golongan ashabah.
4. ASHABAH
Ashabah menurut ilmu bahasa
artinya penolong pelindung . Ashabah terdiri dari 3 ( tiga ) bahagian :
a. Yang menjadi ashabah dengan sendirinya ( Ashabah Binafsi
)
Contoh : Semua daftar laki-laki dikurangi saudara laki-laki
se Ibu dan suami
b. Yang menjadi ashabah dengan sebab orang lain ( Ashabah
Bi’lghair )
Contoh : Anak perempuan disebabkan karena adanya anak
laki-laki dan
anak perempuan.
c. Yang menjadi ashabah bersama orang lain ( Ashabah
Ma’alhair ).
5. BAITU AL - MAAL.
Jikalau didalam pembagian pusaka
terdapat sisa, maka sisa itu menurut paham yang dianut dan berkembang di
Indonesia diberikan ke Baitalmal. Tujuanya adalah dipergunakan untuk Mesjid dan
kemaslahatan Kaum Muslimin. Kemudian secara singkat atau diuraikan mengenai
ketentuan bagian-bagian yang diperoleh ahli waris atas harta peninggalan
sipewaris berdasarkan Hukum Islam
yaitu :
1. 1/3 ( seperdua )
2. 1/4 ( seperempat )
3. 1/8 ( seperlapan )
4. 2/3 ( dua pertiga )
5. 1/3 ( sepertiga )
6. 1/6 ( seperenam )
Demikianlah ketentuan-ketentua
yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam menyangkau masalah ahli waris dan
bagian-bagian yang diperoleh terhadap harta peninggalan pewaris yang kelak akan
dibagi-bagi sesama ahli waris dengan system kewarisan Islam yang dianut yaitu
sistem kewarisan Individual / Bilateral. Selanjutnya dapat dilihak pengertian
ahli waris dan pengelompokan didalam KHI. Perihal ahli waris yang terdapat
dalam Pasal 171 Bab I dimaksud adalah “ Orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak berhalangan karena hokum untuk menjadi ahli waris “ .
Kemudian Pasal 174 Bab II mengatakan :
1.“ Kelompok – kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah :
- Golongan laki-laki terdiri
dari : Ayah, anak laki-laki saudara laki-laki, Paman, dan kakek ;
- Golongan perempuan terdiri
dari : Ibu, Anak perempuan dan Nenek
b. Menurut hubungan perkawinan
terdiri dari : Duda atau Janda.
2.“ Apabila semua ahli waris ada
, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya : Anak , Ayah , Ibu , Janda , atau
Duda. Demikian uraian yang telah disampaikan mengenai hukum kewarisan Islam
menurut KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) khusunya mengenai tata cara pembagian
harta warisan dan besarnya bagian yang diperoleh anak laki-laki dan anak
perempuan.
Dalam
Hukum waris Islam hal yang pokok adalah sebagai berikut:
a) Sumber
hukum: Al-Quran, Hadist dan Ijtihad
b) Sistem kewarisan: Bilateral, Individual
c) Terjadinya pewarisan karna: adanya hubungan darah, adanya perkawinan
d) Perbedaan agama tidak mendapatkan warisan
e) Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan
f) Bagian anak laki-laki dan perempuan berbeda, 2:1
g) Bagian ahli waris tertentu: ½, ¼, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8.
h) Anak (cucu) dan orang tua tidak saling menutup
i) Wasiat maksimum 1/3 dari harta peninggalan
j) Jenis harta dalam perkawinan: Harta bawaan, Harta campur
b) Sistem kewarisan: Bilateral, Individual
c) Terjadinya pewarisan karna: adanya hubungan darah, adanya perkawinan
d) Perbedaan agama tidak mendapatkan warisan
e) Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan
f) Bagian anak laki-laki dan perempuan berbeda, 2:1
g) Bagian ahli waris tertentu: ½, ¼, 1/3, 2/3, 1/6, 1/8.
h) Anak (cucu) dan orang tua tidak saling menutup
i) Wasiat maksimum 1/3 dari harta peninggalan
j) Jenis harta dalam perkawinan: Harta bawaan, Harta campur
C. Keberadaan Hukum Waris Adat.
Berbicara mengenai Hukum Waris
Adat, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertiannya sebagai pegangan /
pedoman untuk dapat melangkah kepada pembahasan selanjutnya. Hukum Waris Adat
yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris,
tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan pengusaha dan pemiliknya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat
sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada
keturunannya. Ter Haar , 1950 ; 197 menyatakan : “ Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum
yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari
harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi “.
Supomo , 1967 ; 72 menyatakan : “
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengopor barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud
benda ( Immateriele Geoderen ) dari suatu angkatan manusia ( Generatio ) kepada
turunannya “. Dengan demikian hukum waris itu menurut ketentuan-ketentuan yang
mengatur
cara meneruskan dan pearlihan
cara kekayaan ( berwujud atau tidak berwujud ) dari pewaris kepada ahli
warisnya. Cara penerusan dan peralihana harta kekayaan ini dapat berlaku sejak
pewaris maish hidup atau setelah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan
antara hukum waris barat ( KUH Perdata ) . Tata cara pengalihan atau penerusan
harta kekayaan pewaris kepada ahli waris menurut hukum adat dapat terjadi
penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh
pewaris kepada ahli waris. Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa
prinsip ( azas umum ) , diantaranya adalah sebagai berikut : “ Jika pewarisan
tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini dilakukan secara
keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak
laki atau perempuan dan keturunan mereka . kalau tidak ada anak atau keturunan
secara menurun , maka warisan itu jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas
. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal
harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping ,
dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh
“.
“ Menurut hukum adat tidaklah
selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris
adalah sipewaris meninggal dunia , tetapi merupakan satu kesatuan yang
pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut
tidak tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya “ . “
Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat ( Plaats Vervulling ). Artinya
seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari
anak itu digantikan oleh
anak-anak dari yang meninggal dunia tadi ( cucu dari sipeninggal harta ) Dan
bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai
bagian warisan yang diterimanya “ . “ Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak
( adopsi ), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung )
“.
( Datuk Usman, 1992: 157-160)
Selanjutnya akan dibicarakan
pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak
menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya
diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada
ketentuannya . Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris
dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh
hari , empat puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelah pewaris
wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta
warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain
:
“ Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari
pewaris ) atau
“ Anak laki-laki tertua atau perempuan
“ Anggota keluarga
tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana
“ Anggota kerabat tetangga , pemuka masyarakat adat atau
pemuka
agama yang minta , ditunjuk dan
dipilih oleh para ahli waris “.( Hilman Hadikusuma, 1993: 104 –105)
Apabila terjadi konflik (
perselisihan ) , setelah orang tua yang maish hidup , anak lelaki atau
perempuan tertua , serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya
walaupun telah dilakukan secara
musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan campur tangan
pengetua adat atau pemuka agama. Hukum adat tidak mengenal cara pembagian
dengan perhitungan matematika ( angka ) , tetapi selalu didasarkan atau
pertimbangan mengingat wujud banda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan.
Jadi walau hukum waris adat mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa
setiap ahli waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan
nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah ditentukan. Tatacara
pembagian itu ada 2 ( dua ) kemungkinan yaitu :
“ 1. Dengan cara segendong sepikul Artinya bagian anak
lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan. Atau
2. Dengan cara Dum Dum kupat
Artinya dengan anak lelaki dan
bagian anak perempuan seimbang (sama) “. Kebanyakan yang berlaku adalah yang
pembagian berimbang sama diantara semua
anak.
Untuk bidang hukum waris
adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada umumnya disebabkan oleh adanya
pengaruh dari susunan kekeluargaan / kekerabatan yang dianut di Indonesia.
Adapun susunan tersebut antara lain :
- Pertalian keturunan menurut
garis laki-laki ( Patrilineal )
Contoh : Umpamanya : Batak ,
Bali , Ambon
- Pertalian keturuman menrut
garis perempuan ( matrilineal )
Contoh : Minangkabau, Kerinci (
Jambi ), Semendo- ( Sumetera Selatan )
- Pertalian keturunan menurut
garis Ibu & bapak ( Parental / Bilateral )
Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa,
Kalimantan ( Dayak ) , dll. Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun
bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 ( tiga ) bagian yaitu :
1. Sistem Pewarisan Individual
Misalnya : Pada susunan
kekeluargaan bilateral ( jawa ) & susunan kekeluargaan patrilineal ( Batak
)
2. Sistem Pewarisan Kolektif
Misalnya : Harta pusaka tinggi
di Minangkabau.
3. Sistem Pewarisan Mayorat
Misalnya : di Bali , Lampung,
dan lain-lain.
Hukum waris adat satu adat denagn
adat daerah lainnya saling berbeda:
a) Sumber
hukum: adat/kebiasaan, yurisprudensi
b) Sistem kewarisan: bervariasi
c) Terjadinya
pewarisan karna: adanya hubungan darah, adanya perkawinan, adanyapengangkatan
anak
d) Berbeda agama mendapat warisan
e) Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan
f) Bagian laki-laki dan perempuan adalah sama
d) Berbeda agama mendapat warisan
e) Ahli waris hanya bertanggung jawab sampai batas harta peninggalan
f) Bagian laki-laki dan perempuan adalah sama
g) Tidak ada
bagian tertentu
h) Anak angkat mendapat warisan
i) Wasiat dibatasi jangan sampai mengganggu kehidupan anak
j) Jenis harta dalam perkawinan: Harta bawaan, harta gono-gini/harta pencarian/harta
h) Anak angkat mendapat warisan
i) Wasiat dibatasi jangan sampai mengganggu kehidupan anak
j) Jenis harta dalam perkawinan: Harta bawaan, harta gono-gini/harta pencarian/harta
bersama
D. Keberadaan Hukum Waris Barat
Berbicara mengenai hukum waris
barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata ( BW ) yang
menganut sistem individual , dimana harta peninggalan pewaris yang telah wafat
diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia
keturunan asing seperti eropah, cina , bahkan keturunan arab & lainnya yang
tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya. Sampai saat ini , aturan
tentang hukum waris barat tetap dipertahankan , walaupun beberapa peraturan
yang terdapat di dalam KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi , seperti
hukum perkawainan menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974 ,
tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi
semua warga negara. Hal ini
dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 / 1974 yang
menyatakan : Untuk perkawinan & segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata ( BW), ordomensi perkawinan
indonesia kristen ( Hoci S. 1993 No. 74 ) , peraturan perkawinan campuran (
Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 ) & peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang
ini , dinyatakan tidak berlaku. Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada
pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :
1. Dalam hal seorang mempunyai
hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda , seorang itu tidak dipaksa
mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang
bersama-sama berhak atasnya
2. Pembagian harta benda ini
selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu
3. Dapat diperjanjikan , bahwa
pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu
4. Perjanjian semacam ini
hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi , kalau
tenggang lima tahun itu telah lalu “.( Wirjono Prodjodikoro, 1976 : 14 )
Jadi hukum waris barat menganut
sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung dibagi-bagi kan kepada
para ahli waris . Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan (
pusaka ) yang belum dibagi segera dibagikan , walaupun ada perjanjian yang
bertentang dengan itu , kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan pembagian
harta warisan itu disebabkan satu & lain hal dapat berlaku atas kesepakatan
para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun kecuali dalam
keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu perpanjangan
baru . Sedangkan ahli waris hanya terdiri dari dua jenis yaitu :
“ I. Ahli waris menurut UU
disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab intestato. Yang
termasuk dalam golongan ini ialah
1. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris
(simati)
3. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris
4. Keluarga sedarah alami dari sipewaris
II. Ahli waris menurut surat
wasiat ( ahli waris testamentair ) Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini
adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi
ahliwarisnya“. Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris
ini , cukup layak bidang-bidang yang harus dibahas diantaranya pengertian
keluarga sedarah & semenda , status hukum anak-anak tentang hak warisan ab
intestato keluarga sedarah , dan lain sebagainya. Untuk itu dalam tulisan ini
diambil saja bagian yang dianggap mampunyai hubungan dengan penjelasan
terdahulu yakni mengenai hukum kewarisan islam & hukum waris adat.
Besarnya bagian mutlak ini
ditentukan berdasarkan besarnya bagian ab intestato dari legitimaris yang
bersangkutan dengan perkatan lain legitine portie adalah merupakan pecahan dari
bagian ab intestato. Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak &
keturunanya terlebih dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan
oleh pewaris. Untuk lebih jelas hal ini dapat diketahui dari bunyi pasa 914 KUH
Perdata yang pada pokoknya menyebutkan adalah sebagai berikut :
a) Jika yang ditinggalkan hanya
seorang anak , maka legitine portie anak itu adalah ½ dari harta peninggalan.
b) Jika yang ditinggalkan dua orang anak , maka legitine
portie masing-masing anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing
anak itu
c) Jika yang ditinggalkan tiga
orang anak atau lebih , maka bagian masing-masing anak adalah 3/ 4 dari bagian
ab intestato masing-masing anak itu“ .
Jadi yang dimaksud dengan tiga
orang anak atau lebih adalah termasuk pula semua keturunannya , akan tetapi
sebagai pengganti. Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang
masing-masing
mempunyai warna &
karakteristik tersendiri , memiliki kelebihan & kekurangan sesuai dengan
alam pikiran & jiwa pembentukannya , yang masing-masing hokum waris
mempunyai latar belakang sejarah serta pendangan hidup & keyakinan yang
berbeda-beda pula &
mengakibatkan terjadinya pluralisme hukum waris di Indonesia.
Hukum Waris Barat yang pokok
adalah sebagai berikut:
a) Sumber hukum: KUHPERDATA
b) Sistem
kewarisan: Bilateral, Individual
c) Terjadinya pewarisan karna: Ab Intestato, Testamentair
d) Berbeda agama mendapat warisan
e) Sistem golongan ahli waris: I, II, III, IV
f) Ahli waris mempunyai tanggung jawab kebendaan
g) Bagian laki-laki dan perempuan adalah sama
h) Anak, suami dan istri menutup orang tua (golongan II)
i) Anak angkat mendapat warisan
j) Wasiat dibatasi oleh laki-laki dan wanita (bagian mutlak)
k) Jenis harta dalam perkawinan: Harta campur, Harta pisah dan Perjanjian kawin
c) Terjadinya pewarisan karna: Ab Intestato, Testamentair
d) Berbeda agama mendapat warisan
e) Sistem golongan ahli waris: I, II, III, IV
f) Ahli waris mempunyai tanggung jawab kebendaan
g) Bagian laki-laki dan perempuan adalah sama
h) Anak, suami dan istri menutup orang tua (golongan II)
i) Anak angkat mendapat warisan
j) Wasiat dibatasi oleh laki-laki dan wanita (bagian mutlak)
k) Jenis harta dalam perkawinan: Harta campur, Harta pisah dan Perjanjian kawin
E. sejarah Hukum Waris ditinjau dari segi Historitas
A. Hukum waris Zaman Kolonial
Menyangkut sejarah masuk hukum Islam di Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masuknya di Nusantara. Para ahli sejarah belum sependapat mengenai kapan Islam masuk Indonesia yakni pada abad ke-1 Hijriah (7 Masehi), dan ada yang berpendapat pada abad 7 (13 Masehi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama Islam telah terlebih dahulu berkembang dan dilakukan di Nusantara ketimbang kolonial Belanda menginjakkan kakinya di bumi Nusantara. Dalam perkembangan sejarah Indonesia tercatat bahwa pada abad keenam belas (1596 Masehi) organisasi perusahaan dagang Belanda yang dikenal dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie = Gabungan Perusahaan Dagang Belanda Hindia Timur) merapat di pelabuhan Banten Jawa Barat, semula maksudnya hanya untuk berdagang, namun perkembangan lebih lanjut tujuan tersebut berubah haluan yaitu ingin menguasai kepulauan Indonesia, sehingga VOC mempunyai dua fungsi, sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintahan.
Dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut, maka VOC mempergunakan hukum Belanda untuk daerah-daerah yang telah dikuasainya, dan tentunya secara berangsur-angsur VOC juga membentuk badan-badan peradilan. Walaupun badan-badan peradilan sudah dibentuk tentunya tidak dapat berfungsi efektif, sebab ketika hukum yang dibawa oleh VOC tersebut tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti oleh masyarakat. Hal ini patut terjadi, sebab dalam statute Jakarta 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat dibagi dalam dua periode; yaitu periode Teori Receptio in Complex dan periode Teori Receptei. Teori reception in complex adalah teori penerimaan Hukum Islam, sepenuhnya bagi orang-orang yang beragama Islam karena mereka telah memeluk agama Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yaitu dengan adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan peraturan Resulutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie adalah teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh C.Snouck Hurgronje berdasarkan penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo.
Teori ini merupakan reaksi
menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS (indische
Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”dalam hal terjadi
masalah perdata antar sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama
Islam apabila hukum adat mereka menghendakinaya”. Secara pelahan dan
sistematis pemerintah kolonial Belanda mencoba untuk menghilangkan pengaruh
hukum Islam dalam lingkungan peradilan yang ada, sebab dengan pertukaran agama
penduduk menjadi Kristen akan menguntungkan negeri Belanda karena penduduk
pribumi yang mengetahui eratnya hubungan agama dengan pemerintahannya. Namun
demikian usaha tersebut tidak berhasil, bahkan lebih lanjut Mr. Scholten van
Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak
melakukan pelanggaran terhadap bumiputera sebagai pencegahan terhadap
perlawanan yang akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering
Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk
menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada
pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan
yang diakui umum.Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para
pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi
wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah,
sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut
tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama
mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610
untuk Jawa dan Madura dan Stb.1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.
Pada masa pendudukan
Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda
dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
hokum Pemerintahan Dai Nippon.
B. Hukum Waris Pascakemerdekaan
B. Hukum Waris Pascakemerdekaan
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya berdasarkan kepada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara. Menurut Hazairin, sejak diproklamasikan kemerdekaan Repubik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 29. Perumusan dasar Negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar Negara : Pancasila, Islam dan Sosialis Ekonomi. Namun Dalam lembaga legislatif yang dikenal de-Konstituante itu tidak berhasil memutuskan dasar Negara hingga kemudian keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945 termasuk di dalamnya dasar negara Pancasila.
Sebelumya pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam dipandang sebagai bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal kewarisan masyarakat sering mempergunakan hukum adat, oleh karena itu persoalan kewarisan dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili berdasarkan hukum adat (pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49, keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh Pengadilan Negeri).Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960.
Sementara itu Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut BPHN) dalam suatu keputusannya yang
dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1962 mengenai hukum kekeluargaan telah pula
menetapkan asas-asas hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12
ditetapkan sebagai berikut;
a. Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
b. Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.
c. Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.
d. Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-undangan.
Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap RUU Hukum Waris. Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hokumadat.
a. Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
b. Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.
c. Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.
d. Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-undangan.
Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap RUU Hukum Waris. Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hokumadat.
BAB III. KESIMPULAN
& SARAN
A. Kesimpulan
-Bahwa pengertian hukum waris
belum terdapat keseragaman sebagai suatu
pedoman atau standar hukum ,
dimana tiap-tiap golongan penduduk memberi arti & definisi sendiri-sendiri
, seperti terlihat pada sistem hokum kewarisan Islam , hukum waris barat &
hukum waris adat . Namun demikian berbicara mengenai hukum waris, ketiga sistem
hukum waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni,
adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan,
adanya pewaris & adanya ahli waris.
- Bahwa tipis sekali kemungkinan
ataupun mustahil untuk dapat menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum waris,
mengingat kebutuhan hukum anggota masyarakat tentang lapangan hukum
bersangkutan adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya
sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut tidak mungkin disamakan. Disamping
itu terkait pula dengan hubungan & didomonasi oleh perasaan, kesadaran,
kepercayaan & agama, dengan kata lain bertalian erat dengan pandangan hidup
seseorang.
- Bahwa dibeberapa daerah sistem
pewarisan telah mengarah kepada susunan kekeluargaan parental & sistem
pewarisan individual , walaupun disana sini masih nampak adanya pengaruh
kedudukan anak tertua lelaki sebagai pengganti kedudukan ayah ,
keluarga-keluarga indonesia cendrung untuk tidak lagi mempertahankan sistem
kekerabatan patrilineal atau matrilineal dengan sistem pewarisan kolektif atau
mayorat. Artinya didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan
hukum adatnya yang lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
B. Saran
- Bahwa mengingat hukum
kewarisan islam mereupakan suatu aturan yang langsung menyetuh perasaan ,
pandangan hidup dan pedoman bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah warisan
sesuai dengan kewajiban & perintah yuhan , maka sebaiknya hukum waris ini
berdiri sendiri dan berlaku bagi umat Islam di seluruh tanah air.
- Bahwa hukum waris barat ( BW ) yang telah berusia lebih
dari satu setengah abad , wajarlah kiranya diperbaharui ( diganti ) dan
pasal-pasalnya satu demi satu dinilai, yang dianggap masih sesuai dengan
keadaan & perkembangan zaman diperetahankan dan yang usang ditinggalkan.
- Bahwa hukum waris adat &
hukum waris barat ( BW ) dapat dijadikan satu kitab hukum yang berlaku bagi
warga negara Indonesia ( orang asing ) yang non muslim. Bahan-bahannya dapat
diambil dari hukum barat yang masih sesuai dengan keadaan & perkembangan
zaman serta dari hukum waris adapt yang pada setiap daerah dengan cara menelaah
titik persamaan yang ada dan meninggalkan hukum adat yang tidak lagi
dipertahankan oleh masyarakat luas atau bertentangan dengan azas-azas umum
tentang kepatuhan & keadilan.
- Bahwa untuk itu lebih
diperbanyak pusat informasi data & dokumentasi hukum waris , baik hukum
kewarisan islam, hukum waris adat & hukum waris barat ( BW ).
- Bahwa perlu ditingkatkan
gairah & semangat menulis , baik dalam bentuk karya ilmiah , penelitian
ataupun seminar dan lain sebagainya agar dapat diketahui sejauh mana aturan –
aturan hukum waris itu masih tetap dipertahankan atau telah ditinggalkan oleh
anggota mesyarakat.
BAB V. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani Abdillah , 1994
, pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani
Press, Jakarta.
Abdullah
Syah , 1994 , Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam ( Fiqh ) , kertas
kerja Simposium Hukum Waris Indonesia dewasa ini , Program Pendidikan Spesialis
Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , Medan.
Hilman Hadikusuma , 1993 , Hukum
Waris Adat , PT. Citra Aditnya Bakti , Bandung.
R.
Subekti & R. Tjitrosedibio , 1980 , Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
,Pradnya Paramita , jakarta.
No comments:
Post a Comment