BAB I.PENDAHULUAN
Kasus-kasus
tindak pidana korupsi sulit di ungkap karena pelakunya menggunakan peralatan
yang canggih dan biasanaya dialakuakan lebih dari satu orang dalam keadaan
terselubung dan terorganisasi.Oleh karena itu kejahatan ini biasa disebut
dengan while collar crime atau
kejahatan kerah putih.
Menyadari
kompleknya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis dimensional karena
ancamannya yang nyata maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan
nasional yang harus dihadapi sungguh-sungguh melaului denagn langkah-langkah
yang jelas dan tegasdenagn melibatkan seluruh potensi yang ada adalam
masyarakat yang di motori oleh pemerintah dan aparat penegak hokum.
Diberbagai
belahan dunia korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
tindak pidana yang lain.Korupsi merupakan masalah serius,tindak pidana ini
dapat membahahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat ,membahayakan stabilitas dan keamanan
masyarakat,membahayakan pembangunan social ekonomi,politik,merusak nilai-nilai
demokrasi,dan yang pasti merusak moralitas apabila terjadi pembiaran maka akan
menjadi sebuah budaya.
Diberlakukanya
Undang-undang tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan
memberantas korupsi selain itu ada beberapa peraturan pemerintah yang berkaitan
denagan opersional pemberantasn korupsi,akan tetapi kenyataannya hingga saat
ini korupsi tidak makin berkurang bahkan dirasakan makin cenderung meningkat
dan modus operandinya yang biasa kelompok kecil berubah menjadi kelompok secara
berjamaah.
Dengan
gambaran berbagai hal tentang korupsi untuk selanjutnya akan kita bahas
mengenai tindak pidana yang meliputi pengertian tindak pidana,tindak pidana
korupsi,dan proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.
BAB II.PEMBAHASAN
II.1.1 Pengertian tindak Pidana
Sebelum
membahas pengertian korupsi kita bahas terlebih dahulu mengenai tindak
pidana.Pembentuk Undang-Undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan istilah tindak pidana.Dalam bahasa
belanda straafbaarfeit terdapat makna dari dua pembentuk kata yaitu straafbaar dan feit.Straafbaar dalam
bahasa belanda berarti dapat di hokum sedangkan feit dalam bahasa belanda berarti sebagian dari kenyataan.Secara
harfiah straafbaarfeit dapat diartikan sbagian dari kenyataan yang dapat
dihukum yang mana kurang tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di hokum
adalah manusia sebagai pribadi buakan kenyataan atau perbuatan maupun tindakan.
Sedangkan
pengertian dari perkataan straafbaarfeit menurut pakar antara lain:
1.Simons
Menurut
Simons dalam rumusannya straafbaarfeit adalah tindakan melanggar hokum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
2.E.Utrect
Mengartikan
Straafbaarfeit denagan istilah peristiwa pidana yang sering biasa disebut
delik,karena peristiwa itu suatu perbuatan melalaikan maupun akibat yang
ditimbulkan karena perbuatan.Peristiwa pidana merupakan peristiwa hokum (
rechtsfeit) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh
hokum.Tindakan semua unsur yang di singgung oleh ketentuan pidana dijadikan
unsur yang mutlak dari peristiwa
pidana.Hanya sebagaian yang dapat dijadikan unsure-unsur mutlak suatu tindak
pidana.Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hokum( unsure melawan
hokum)sebab itu dapat dijatuhi hukuman dan adnaya seoarang pembuat atau orang
yang bertanggung jawab.
3.Pompe
Pelanggaran
norma atau gangguan terhadap tertib hokum yang denagan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakuakan oleh seorang pelaku
diamana penajatuahan hukuman terhadap pealau adalah penting demi
terpeliharanya tertib hokum dan terjaminnya ktertiban kpentimgan umum.
4.Moeljatno
Perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hokum larangan yang mana dikenai sanksi berupa
pidanan tertentu bagi siapa yang melanggar aturan tersebut.Perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang hokum yang di ancam dengan pidana yang ditujukan
pada akibat perbuatan.Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsure-unsur :
- Perbuatan manusia
- Memenuhi syarat formil dalam Undang-Undang ,syarat formil harus ada karena asas legaliatas sesuai pasal 1 ayat ( 1 ) KUHP.
- Bersifat melawan hokum ( syarat materiil )
Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan yang
dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat
melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.
II.1.2 Unsur-Unsur tindak pidana
1. Unsur
subjektif
- Kesengajaan atau kelalaian
- Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat ( 1 ) KUHP.
- Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian ,penipuan,pemerasan,pemalsuan,dan lain-lain.
- Merencanakan terlebih dahulu,seperti yang terdapat dalam kejahatanmenurut pasal 340 KUHP.
2. Unsur
Objektif
- Sifat melawan hokum
- Kualiatas dari pelaku
- Kausalitas
II.1.3 jenis –jenis tindak Pidana
- Pelanggaran ( opzet )
- Kejahatan ( culpa )
II.1.4 Tempat dan waktu Tindak pidana
Tempat
tindak pidana Locus delicti adalah
tempat tindak pidana berlangsung sedangkan waktu tindak pidana atau tempus delicti adalah waktu dimana tindak pidana itu dilakukan.menurut
Prof.Van Bemmelen yang dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukan tindak
pidana pada dasarnya adalah tempat dimana seorang pelaku telah melakuakan
perbuatannya secara materiil.yang dianggap locus
delicti adalah:
- Tempat dimana seorang pelaku telah mealakuakan perbuatanya.
- Tempat dimana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja.
- Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul.
II.2 PIDANA KORUPSI
II.2.1 Pengertian
Korupsi
Korupsi
menurut bahasa latin yaitu corruption yang
berarti penyuapan sedangkan Corruptore
berarti merusak, gejala dimana para pejabat,badan-badan Negara menyalahgunakan
wewenang dengan terjadinya penyuapan,pemalsuan serta tindakan lainnya.Korupsi
merupakan sesuatu yang busuk,jahat dan merusak karena korupsi menyangkut
segi-segi moral yang menyangkut masalah penyuapan,yang berhubungan denagn
manipulasi dibidang ekonomi dan yang berhubungan denagn manipulasi di bidang
ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.
Berdasarkan
undang-undang bahwa korupsi diartikan:
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
Tindak Pidana Korupsi memiliki
pengertian yang hampir sama dengan korupsi. Tindak Pidana Korupsi menurut UU No
31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31
tahun 1999).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31
tahun 1999).
3. Setiap orang atau pegawai negeri
sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu
yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).
4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili. (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau
barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan
atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atauKepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang.
e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan
atau orang yang menerima penyerahanbarang keperluan Tentara Nasional Indonesia
dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, ataukeselamatan negara
dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang.
6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001).
7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).
8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001):
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001).
10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum,
seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan
utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan
barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolaholah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah
merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik
langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh
atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU
No. 31 Tahun 1999).
13. Setiap orang yang melanggar ketentuan
Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).
.
II.2.2 Subjek Tindak Pidana Korupsi
a. Setiap orang termasuk korporasi,
b. Memperkaya diri sendiri, orang lain/korporasi,
c. Dapat merugikan negara,
d. Perbuatan melawan hokum
II.2.3 Ruang
lingkup Tindak pidana korupsi
a. Keuangan Negara atau perekonomian negara,
b. Suap menyuap (menerima janji, tawaran dan/atau
hadiah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam pelaksanaan
tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut)
baik kepada pejabat publik, swasta, maupun pejabat internasional,
c. Penggelapan dalam jabatan,
d. Pemerasan (Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara yang memeras orang sama dengan korupsi),
e. Perbuatan Curang (Pemborong, ahli bangunan,
penjual pengawas proyek, rekanan TNI/Polri, Pengawas rekanan TNI/Polri yang
melakukan atau membiarkan perbuatan curang sama dengan korupsi),
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pegawai Negeri
atau Penyelenggara Negara yang dengan sengaja baik langsung ataupun tidak turut
serta dalam pemborongan, pengadaan, dan atau persewaan yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya
sama dengan korupsi),
g. Gratifikasi (Pegawai Negeri yang mendapat gratifikasi dan
tidak melaporkannya ke KPK dianggap korupsi).
II.2.4 Terhadap
Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
Pidana Mati
Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena
kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2
ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
Pidana
Penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
Pidana
Tambahan
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
III.
KESIMPULAN
Dibutuhkannya upaya tindakan hukum yang lebih keras
dan tegas dalam memberikan hukuman (punishment) terhadap para pelaku tindak
pidana korupsi yang telah menyelewengkan wewenang maupun tanggung jawab sebagai
aparatur Negara. Upaya tersebut dapat berupa kurungan penjara seumur hidup,
hukuman mati, maupun memiskinkan para koruptor. Hal tersebut dilakukan agar
dapat menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi siapa saja yang akan melakukan
perbuatan tercela tersebut yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
Diperlukannya suatu kemauan dan keinginan yang kuat
(political will) dari lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kebijakan pemerintah
maupun KPK yang telah diatur serta disusun sebagai strategi dalam memberantas
korupsi yang diterapkan akan percuma dan sia-sia jika upaya tersebut tidak
dibarengi dengan niat serta kemauan yang kuat dari
para Penyelenggara Negara. Dengan tidak adanya niat tersebut maka segala upaya
yang dilakukan oleh KPK maupun badan-badan penegak hukum lainnya dalam menekan
dan memberantas korupsi di Indonesia
akan berjalan di tempat dan mandul. Oleh karena itu sebuah political will yang
kuat akan sangat berharga dalam melawan korupsi dalam mewujudkan pemerintahan
yang bebas dari korupsi.
Dukungan masyarakat luas baik dari kalangan
organisasi masyarakat, pelaku bisnis, serta mahasiswa sangat dibutuhkan untuk
dapat melanjutkan Dukungan masyarakat luas baik dari kalangan organisasi
masyarakat, pelaku bisnis, serta mahasiswa sangat dibutuhkan untuk dapat
melanjutkan kebijakan pemerintah dalam menangani masalah korupsi. Setelah
adanya upaya dari pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik, masyarakat diharapkan
dapat menerapkan prilaku anti korupsi terhadap penyelenggara negara. Dengan
adanya upaya tersebut maka akan terhindar dari upaya melakukan korupsi pada
penyelenggara negara.
Konsistensi dari lembaga penegak hukum dan juga para
aparatur Negara dalam menangani tindak pidana korupsi yang terjadi dalam
pelaksanaan tata pelayanan pemerintahan. Karena jika melakukan upaya tersebut
hanya berorientasi pada jangka pendek maka dikhawatirkan gejala tindak pidana korupsi
dapat tumbuh kembali. Oleh karena itu, peneliti sekali lagi menegaskan dan
menekankan perlu adanya sikap yang tegas dan konsisten dari para Penyelengara
Negara dalam menyatakan perang terhadap tindak pidana korupsi. Selain saran dan
rekomendasi terhadap upaya pemerintah dalam menangani korupsi, peneliti juga
akan memberikan saran kepada para pembaca dan calon peneliti yang nantinya
tertarik dengan permasalahan tindak pidana korupsi. Jika ingin melakukan
penelitian terhadap masalah mengenai korupsi harap diperhatikan keakuratan data
yang akan dijadikan referensi maupun acuan dalam melakukan penelitian, terutama
data-data yang mengenai badan yang memiliki wewenang dan juga tugas dalam
masalah tersebut. Selain itu perlu juga mengetahui apa saja yang dilakukan oleh
badan Dukungan masyarakat luas baik dari kalangan organisasi masyarakat, pelaku
bisnis, serta mahasiswa sangat dibutuhkan untuk dapat melanjutkan kebijakan
pemerintah dalam menangani masalah korupsi. Setelah adanya upaya dari
pemerintah dalam meningkatkan pelayanan publik, masyarakat diharapkan dapat
menerapkan prilaku anti korupsi terhadap penyelenggara negara. Dengan adanya
upaya tersebut maka akan terhindar dari upaya melakukan korupsi pada
penyelenggara negara.
Konsistensi dari lembaga penegak hukum dan juga para
aparatur Negara dalam menangani tindak pidana korupsi yang terjadi dalam
pelaksanaan tata pelayanan pemerintahan. Karena jika melakukan upaya tersebut
hanya berorientasi pada jangka pendek maka dikhawatirkan gejala tindak pidana korupsi
dapat tumbuh kembali. Oleh karena itu, peneliti sekali lagi menegaskan dan
menekankan perlu adanya sikap yang tegas dan konsisten dari para Penyelengara
Negara dalam menyatakan perang terhadap tindak pidana korupsi.
BAB.IV DAFTAR
PUSTAKA
Evi Hartanti,SH , 2005 , Tindak Pidana Korupsi,Sinar Grafika,Semarang.
Adji, Indriyanto Seno,
Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Jakarta: Diadit Media, 2007.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta: Sapta
Artha Jaya, 1996.
KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta,
1998.
Hamzah, Andi,, Pengantar
Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999.
No comments:
Post a Comment