Saturday, December 31, 2011

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP PIDANA NASIONAL


BAB.I       PENDAHULUAN
Hukum pidana internasional sendiri bersumber dari dua bidang hukum yaitu, hukum internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum pidana nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional. Oleh karena itu, maka asas-asas hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum tersebut
  
BAB. II ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI     HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan  kesamaan derajat Negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas tersebut yang paling utama ini dapat diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah diakui didalam teori maupun praktek hukum dan hubungan internasional. Masing-masing asas tersebut meliputi :

2.1.     Asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat negara-negara
Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan hukum internasional. Turunan asas-asas ini meliputi :
-          Asas non intervensi,
-          Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara,
-          Asas hidup berdampingan secara damai ,
-          Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia,
-          Asas bahwa suatu Negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara lainnya,
-          Dan lain-lain.

Dari asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah hukum internasional yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan terhadap subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan Negara-negara pada khususnya yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.

Dalam hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah hukum pidana internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa larangan bagi suatu Negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas seseorang yang sedang berada di wilayah Negara lain yang diduga telah melanggar hukum pidana nasionalnya, kecuali Negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dsan kesamaan derajat Negara-negara. Salah satu contoh pelanggaran asas ini adalah tindakan Israel yang menculik Adolf Eichmann untuk membawa dan mengadili beliau di Israel.


2.2.     Asas non-intervensi
Menurut asas ini, suatu Negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri Negara lain, kecuali Negara itu menyetujuinya secara tegas. Jika suatu Negara, misalnya, dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi didalam suatu Negara lain tanpa persetujuan Negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi. Contoh konkrit dari pelanggaran asas non-intervensi adalah tindakan Israel mengintervensi Libanon pada tahun 1984 dan tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004.

2.3.    Asas hidup berdampingan secara damai
Asas ini menekankan kepada Negara-negara dalam menjalankan kehidupannya, baik secara internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secar damai, saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah atau sengketa yang timbul, antara dua atau lebih Negara, supaya diselsaikan secar damai. Wujud dari asas hiddup berdampingan secara damai adalah dapat dilihat dari pengaturan masalah-masalah internasional baik dalam ruang lingkup global, regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan,kesepakatan untuk mengatur masalah-masalah tertentu dalam perjanjian internasional.

2.4.     Asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
Asas ini membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara-negara atau seseorang tidka boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Contoh, sebuah Negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam hukum pidana, seperti undang-undang anti terorisme, dan lain-lain. Tidka boleh ada ketentuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Hal ini sudah tertuang dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Anti Penyiksaan, adalah salah satu contoh konvensi dalam bidang hukum pidana internasional yang secara langsung berkenaan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

BAB III.    ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI HUKUM PIDANA NASIONAL
           
Asas-asas hukum pidana nasional Negara-negara pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana nasional Negara-negara adalah asas legalitas (asas nullum delictum dan asas culpabilitas. Dari kedua asas ini diturunkan beberapa asas lainnya dari hukum pidana nasional. Asas hukum pidana nasional yang diturunkan dari asas culpabilitas adalah asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan asas ne bis in idem.



3.1     Asas legalitas
Asas legalitas yang dikenal juga dengan nama asas nullum delictum noela poena sine lege , sebagai salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional Negara-negara, pada hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu perundangan-undangan pidana nasional. Tegasnya, seseorang untuk dapat diadili dan atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika terbukti bersalah ataupun dibebaskan dari tuntutan pidana jika tidak terbukti bersalah, haruslah didasarkan pada pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)  Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 
Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
  1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang) 
  2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
  3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).


3.2     Asas non-retroactive
Asas non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindakan pidana didalam hukum atau perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah Negara menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut.

3.3     Asas culpabilitas
Asas ini yang juga merupakan salah satu asas utama dari hukum pidana nasional Negara-negara menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika kesalahannya tidak berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan, dari tuntutan pidana.

3.4     Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent)
Menurut asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak bersalah, denagn segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya.


3.5     Asas ne bis in idem
Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau diajtuhi putusan untuk yang kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali atas perbuatan yangdialkukannya. Adapun dasar pertimbangannya adalah, karena dia akan sangat dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastiqan hukum.
Perlu ditegaskan disini, bahwa putusan badan peradilan itu bisa saja berupa putusan penghukuman ataupun putusan pembebasan atau pelepasan terhadap dirinya. Jika dia sudah diputuskan dengan sanksi pidana tertentu dan sudah selesai dilaksanakan, maka sesudahnya dia akan kembali seperti orang biasa pada umumnya, dengan segala hak dan kewajibannya.

Kewajiban suatu Negara (termasuk badan peradilannya) untuk menghormati Negara lain (termasuk badan peradilan dan perutusannya), berdasarkan pada asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan, derajat Negara-negara. Seperti telah dikemukakan diatas. Tegasnya, setiap Negara wajib menghormati segala apa yang dilakukan oleh suatu Negara di dalam batas-batas wilayahnya. Termasuk dalam mengadili dan memutuskan suatu kasus yang dilakukan oleh badan peradilannya. Oleh karena itu, proses pemeriksaan suatu perkara dihadapan badan peradilan nasionalnya serta putusannya sendiri juga harus dihormati. Jika ini dilanggar, maka sama artinya dengan tidak menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara.

BAB.VI  ASAS-ASAS HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN WAKTU
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu :
  1. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
  2. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.
Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :

1. Asas Teritorial.
Asas ini diatur dalam KUHP yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan :  
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia. 
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :  
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

2. Asas Personal (nasional aktif).
Pasal 5 KUHP menyatakan :
(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
 Sekalipun rumusan Pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif)
karena Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional.
3.                  Asas Perlindungan (nasional pasif)
        
 Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
  1. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1). 
  2. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2).
  3. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3).
  4. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
4. Asas Universal.
           Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
  1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
  2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial. 
  3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya. 
  4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.

 

Friday, December 23, 2011

International Sea Bed Area ( Area Dasar Laut International )

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Konvensi hokum laut 1982 merupakan aturan international yang didalamnya mengatur bidang dasar laut international tentang pengelolaan dasar laut international dan tanah di bawahnya.Dasar laut international atau yang biasa disebut kawasan atau area dasar laut international diatur dalam Bab XI pasal 133 – pasal 191 konvensi hokum laut 1982.
Pengertian area atau kawasan menurut konvensi hokum laut 1982 berbunyi:”area means the seabed and ocean floor and subsoil there of,beyond the limits jurisdiction”.yang diterjemahkan bebas sebagai berikut:Area dasar laut adalah dasar laut ,dasar samudra dan tanah dibawahnya di luar yuridiksi nasional.
Didalam dasar laut dan tanah dibawahnya terdapat kekayaan dasar laut,kekayaan dasar laut sesuai dengan konvensi hokum laut 1982 pasal 133 yaitu yang berbunyi : “resources means all solid ,liquid or gaseous mineral resources in situ in the area ar or beneath the sea –bed including polymetalic nodules”.yang diterjemahkan bebas kekayaan area dasar laut international adalah segala kekayaan mineral yang bersifat padat ,cair atau gas diarea / kawasan atau tanah dibawah dasar laut termasuk bahan polimetalik yang kemudian semua hasil dari kekayaan dari area /kawasan tersebut di sebut mineral.
              Hukum laut internasional merupakan salah satu cabang disiplin ilmu dari hukum internasional, hal-hal yang diatur sudah tentu mengenai laut secara internasional.Bidang pengaturan dari hukum laut telah melalui beberapa tahapan dalam perkembangannya, hal ini ditunjukkan dengan adanya United Nations Convention on the Law of the Sea 1982(Unclos 1982) ke-3 (tiga) di Montego Bay, Jamaika pada tahun 1982.
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 saat ini adalah aturan yang sangat komprehensif dalam hal mengatur urusan kelautan, dan dalam perkembangannya mengalami proses-proses yang sangat rumit. Dari sekian banyak bidang-bidang kelautan yang ada dalam Unclos 1982, maka pembahasan selanjutnya akan melakukan kajian terkait dengan Kawasan Dasar Laut (International Sea-Bed Area).

RUMUSAN MASALAH
a.       Area Dasar Laut International
b.      Pengawasan Area dasar Laut International
c.       Alih tehnologi Pada area dasar laut international.
d.      Lembaga dan anggota International Sea-Bed Authority ( ISBA )
e.       Penyelesaian Sengketa pada Area dasar Laut International
f.       Hak dan kewajiban Indonesia mengenai Area dasar laut international
TUJUAN PENULISAN
            Untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah hokum laut international dan untuk mengetahui tentang Area dasar laut international ,pengawasan ,alih tehnologi ,lembaga dan anggota ISBA dan penyelesaian sengketa pada area dasar laut international.

BAB II
PEMBAHASAN
A.                Area dasar Laut International
Area dasar laut dan tanah dibawahnya yang diatur dalam bab XI konvensi hokum laut 1982 merupakan warisan bersama bersama umat manusia yang tunduk dan patuh pada aturan international ( common heritage of mankind ).
Pada area dasar laut internatioanal tersebut tidak boleh ada negara yang mengklaim  kedaulatan karena semua kekayaan hanya untuk kepentingan seluruh umat manusia yang dikelola oleh suatu badan international yaitu Badan otorita Dasar laut international ( International  Sea-Bed Authority  yang disingkat ISBA ) sehingga pengelolaan kawasan dasar laut tersebut bisa dikelola  oleh Negara-negara  yang mempunyai tehnologi  berdasarkan persetujuan  ISBA.

B.        Pengawasan Area Dasar Laut International
Pengawasan kegiatan dan pengelolaan dasar laut international dan tanah di bawahnya dilaksanakan oleh ISBA ( International Sea-Bed Authority ) berdasarkan pasal 151 konvensi hokum laut 1982 yang berbunyi :”activities in the area means all activities  of exploration  for and exploration of the resources of the area.”

C.                Alih Tehnologi pada area dasar laut International
Alih tehnologi ( transfer of technology ) pengetahuan Ilmiah ( scientific knowledge ) di lakukan oleh ISBA bekerja sama dengan Negara-negara tertentu biasanya dengan Negara maju yang hasilnya diperuntukan bagi perusahaan atau Negara tertentu biasanya Negara berkembang sebagaimana diatur dalam konvensi hokum laut 1982 pasal 144.


D.             Lembaga dan anggota International  Sea_Bed Authority (  ISBA )
Dlam pengaturan dan pengelolaan area dasar laut international dan tanah dibawahnya perlu adanya suatu lembaga.Lembaga yang mengelola kekayaan dasar laut international adalah ISBA ( International Sea-Bed  Authority ).Sesuai dengan Konvensi hokum laut tahun 1982 pasal 156 bahwa  semua Negara peserta konvensi adalah anggota ISBA ( Ipso Facto) yang berkedudukan di jamaika.
ISBA terdiri dari badan utama ( principal organ ) yaitu majelis ( an asembly ), dewan ( a Councill ),sekretaris ( a Secretariat ) dan perusahaan ( the enterprise ).


E.                 Penyelesaian Sengketa Pada area dasar laut international
Apabila terjadi permasalahan mengenai pengelolaan dasar laut international maka telah dibentuk suatu kamar sengketa dasar laut yang merupakan  bagian dari pengadilan international hokum laut  ( Sea-Bed disputes chamber of the international tribunal for the law of the sea ).Kamar sengketa dasar lauttersebut mempunyai huridiksi atas kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan ,Negara, organisasi international, sebagaimana diatur dalam pasal 186-187 konvensi hokum laut 1982.Chamber harus memberikan pendapat berupa nasehat ( advisory opinion )A atas permintaan majelis atau dewan mengenai persolan hokum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatan di area dasar laut sebagaimana tercantum didalam pasal 191 konvensi hokum laut 1982.

F.              Hak dan Kewajiban Indonesia Mengenai area dasar laut international
Area dasar laut international dan tanah dibawahnya  dibawah pengelolaan Internatiaonal Sea_Bed  Authority ( ISBA ) mempunyai staus common heritage of mankind yaitu semua kekayaan dia rea dasar laut international dalah warisan bersama uamat manusia  kewajiban Indonesia dalah berpartisipasi dalam ekploitasi dan eksplorasi bekerja sama dengan Negara lain ,organisasi international atau perusahaan dalam negeri Atau asing untuk mengelola dasar laut international bila mampu,dan sebagai anggota ISBA turut serta menngawasi Kegiatan di Area laut international.
Apabila terjadi permasalahan mengenai pengelolaan dasar laut international maka telah dibentuk suatu kamar sengketa dasar laut yang merupakan  bagian dari pengadilan international hokum laut  ( Sea-Bed disputes chamber of the international tribunal for the law of the sea ).
           

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Area dasar laut adalah dasar laut ,dasar samudra dan tanah dibawahnya di luar yuridiksi nasional.kekayaan area dasar laut international adalah segala kekayaan mineral yang bersifat padat ,cair atau gas diarea / kawasan atau tanah dibawah dasar laut termasuk bahan polimetalik yang kemudian semua hasil dari kekayaan dari area /kawasan tersebut di sebut mineral-mineral.
Apabila terjadi permasalahan mengenai pengelolaan dasar laut international maka telah dibentuk suatu kamar sengketa dasar laut yang merupakan  bagian dari pengadilan international hokum laut  ( Sea-Bed disputes chamber of the international tribunal for the law of the sea ).


DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Etty R dan Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional.  Bandung:Alumni,2003. 
AK,Syahmin. Beberapa Perkembangan Dan Masalah Hukum Laut Internasional. Bandung: Binacipta, 1988. 
Koers,Albert.W. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. 
Kusumaatmadja,Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta, 1986. 
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut,1982


Saturday, December 10, 2011

hukum kewarisan dan ahli waris pengganti



A.     Hukum Kewarisan berdasarkan hukum Islam

1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Hukum yang mengatur tentang peralihan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris dinamakan hukum kewarisan, yang dalam hokum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti : faraidl, Fiqih Mawaris, dan lain-lain, yang kesemua pengertiannya oleh para fuqaha (ahli hukum fiqh) dikemukan sebagai berikut :
a. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah :
Suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.
b. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah :
Ilmu yng mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.
c. Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu :
Hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.
Dari defisini-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid sebagai ilmu yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya.
Kompilasi Hukum Islam yang tertuang dalam format perundangundangan yang mengatur ketentuan kewarisan dipakai sebagai pedoman dalam hukum kewarisan Islam.
2. Unsur-unsur Hukum Kewarisan
Menurut hukum kewarisan Islam ada tiga unsur yaitu :
a. Pewaris (Muwarit ).
Yaitu : Seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b mendefisikan Sebagai berikut :
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
b. Ahli Waris (Warits).
Yaitu : Orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan dengan pewaris, berupa hubungan kekerabatan, perkawinan atau hubungan lainnya.
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf c, menyatakan
ahli waris adalah : Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
c. Warisan (Mauruts)
Yaitu : Sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak.
3. Syarat-syarat mewaris
Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu :
a. Meninggal dunianya pewaris
Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi karena seseorang baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia yang berarti jika seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris.
Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan :
1). Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra.
2). Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah mati.
3). Mati taqdiry (menurut dugaan),
yaitu kematian yang didasarkan ada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia karena seseorang akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan.
c. Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris.
Tidak terdapat salah satu dari sebab terhalangnya seseorang untuk menerima warisan.
4. Sebab – sebab orang mewaris
Harta orang yang telah meninggal dunia dengan sendirinya berpindah kepada orang yang masih hidup yang mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal tersebut. Hubungan yang dimaksud adalah yang menyebabkan orang menerima warisan, yaitu:
a. Hubungan Kekerabatan
Hubungan kekerabatan adalah hubungan yang ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.
Hubungan kekerabatan dalam garis lurus kebawah (anak, cucu dan seterusnya), garis lurus keatas (ayah, kakek dan seterusnya), maupun garis kesamping (saudara-saudara) dan mereka saling mewaris satu sama lainnya sesuai dengan ketetapan Allah dalam Al-Qur’an, baik dari garis laki-laki/ayah maupun dari garis perempuan/ibu.
b. Hubungan Perkawinan
Hak saling mewaris antara suami istri yang disebabkan adanya hubungan hukum yaitu perkawinan. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami isteri didasarkan pada :
1). Adanya akad nikah yang sah.
2). Keduanya masih terikat perkawinan ketika salah satu meninggal dunia, termasuk juga isteri yang dalam masa iddah setelah di talak raji’i.
c. Hubungan Wala
Adalah hubungan antara seorang hamba dengan orang yang memerdekakannya, orang yang memerdekakan hamba dapat mewarisi harta hamba yang dimerdekakannya, berdasarkan ketentuan Rasul (Hadis).
d. Hubungan Seagama
Hak saling mewaris sesama umat Islam yang pelaksanaannya melalui Baitulmaal. Hubungan ini terjadi apabila seorang Islam meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, sehingga hartanya diserahkan ke Baitulmaal untuk digunakan oleh umat Islam.
5. Penghalang orang mewaris
Dalam hukum kewarisan Islam ada empat yang menjadi penghalang mewaris, yaitu :
a. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menjadi penghalang baginya untuk menerima warisan dari  pewaris. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah yakni hadits riwayat Ahmad yang artinya : “Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri,(begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak
menerima warisan”.
Pada dasarnya pembunuhan adalah kejahatan, namun demikian ada juga pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tertentu sehingga pembunuhan bukan menjadi suatu kejahatan, untuk itu
pembunuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1) Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu :
pembunuhan yang pelakunya tidak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau dosa, dapat dikategori dalam hal ini :
(a) Pembunuhan musuh dalam perang.
(b) Pembunuhan dalam pelaksanaan hukuman mati.
(c) Pembunuhan dalam membela jiwa, harta dan kehormatan.
2) Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu:
pembunuhan yang dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/atau akhirat, yang termasuk dalam kategori ini adalah :
 (a) Pembunuhan sengaja dan terencana, yaitu suatu pembunuhan yang pelaksanaannya terdapat unsure kesengajaan.
Sanksi dunia hukuman mati dalam bentuk Qishas (QS.Al-Baqarah (2) : 178).
Sanksi Akhirat Neraka Jahanam (QS. An-Nisa (4) : 92).
(b) Pembunuhan tersalah, yaitu pembunuhan yang tidak terdapat unsur kesengajaan tetapi membuat orang terbunuh.
Sanksi dunia berupa denda/diyat ringan yang harus  diserahkan kepada keluarga korban. Sanksi akhirat bebas.
(c) Pembunuhan seperti sengaja.
(d) Pembunuhan seperti tersalah.
Keduanya mendapatkan sanksi dunia berupa denda/diyat ringan yang harus diserahkan kepada keluarga korban.
Dari uraian tentang pembunuhan diatas maka yang merupakan sebab terhalangnya seseorang mewaris dari orang yang dibunuhnya adalah :
1) Pembunuhan yang memutus tali silaturrahmi.
2) Pembunuhan dengan tujuan mempercepat proses berlakunya kewarisan.
3) Pembunuhan yang merupakan kejahatan atau maksiat.
b. Berbeda Agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan ahli waris, sehingga tidak saling mewaris, misalnya pewaris muslim, ahli waris non muslim. Hal ini didasari oleh Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, yang artinya :
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam “.
c. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris, hal ini didasari pada kenyataan bahwa budak tidak memiliki kecakapan untuk bertindak, dengan kata lain budak tidak dapat menjadi subjek hukum. Al-Qur’an dalam surat An-Nahl ayat 75 menegaskan,
yang artinya : “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya/budak yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui “
Ayat diatas menegaskan bahwa seorang hamba sahaya/budak tidak cakap mengurusi hak miliknya dengan jalan apapun, karena tidak cakap berbuat maka budak tidak dapat mewaris. Sesungguhnya, pada masa sekarang berbicara tentang budak yang dikaitkan dengan persoalan kewarisan sudah tidak praktis karena masa sekarang perbudakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada jumlahnya sedikit.
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1/1991) pada Buku II, Pasal 173 menyatakan seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih besar.
6. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan dari hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini dapat
dikemukakan lima asas :
a. Asas Ijbari
yaitu peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
b. Asas Bilateral
Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c. Asas Individual
Bahwa harta warisan dapat dibag-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan, tidak
dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
d. Asas Keadilan Berimbang
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan bahwa factor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.
e. Asas Kewarisan Semata Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.
7. Ahli Waris Pengganti
Dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No.1 tahun 1991, ketentuan ahli waris pengganti dimuat dalam Pasal 185.
Hazairin menyimpulkan adanya sistem penggantian dalam hokum kewarisan Islam berdasarkan pada Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33 dengan istilah Mawali , yaitu ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.
Para mujtahid terdahulu pada umumnya berpendapat bahwa kelompok yang disebut sebagai ahli waris pengganti itu, hak yang mereka terima bukanlah hak yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya. Hal ini terlihat dalam contoh dibawah ini :
a. Bagian yang diterima oleh cucu laki-laki adalah sebagaimana yang diterima oleh anak-anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak
perempuan, tidak sebagaimana hak yang diterima oleh anak laki-laki yang digantikannya dan yang menghubungkannya kepada pewaris.
b. Kakek menerima bagian sebagaimana yang didapat oleh ayah, baik sebagai dzawil furud maupun sebagai ashabah. Tetapi kakek tidak berkedudukan sebagai ayah sebagaimana terlihat dalam beberapa
hal :
1) Ayah dapat menutup hak kewarisan saudara, tetapi kakek dapat mewaris bersama saudara, kecuali menurut ulama Hanafi, kakek juga menutup kewarisan saudara.
2) Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari sepertiga (1/3) harta menjadi sepertiga (1/3) dari sisa harta dalam masalah garawayni. Dalam hal ini kakek tidak dapat disamakan dengan ayah.
c. Hak kewarisan nenek tidak sama dengan hak kewarisan ibu, karena nenek dalam keadaan bagaimanapun tetap menerima seperenam
(1/6), sedangkan ibu kadang-kadang menerima sepertiga (1/3) yaitu bila pewaris tidak ada meninggalkan anak.
d. Saudara Seayah tidak sepenuhnya menempati kedudukan saudara kandung, sebagaimana terlihat dalam keadaan dibawah ini :
1) Saudara laki-laki kandung dapat menarik saudara perempuan kandung menjadi asabah sedangkan saudara seayah tidak dapat berbuat begitu.
2) Saudara kandung dapat berserikat dengan saudara seibu dalam masalah musyarakah, sedangkan saudara seayah tidak dapat diperlakukan demikian.
e. Anak saudara menerima warisan sebagai anak saudara, demikian
pula paman dan anak paman menerima hak dalam kedudukannya sebagai ahli waris tersendiri.
Khusus menyangkut dengan masalah cucu, dalam keadaan apapun mujtahid terdahulu tetap menempatkannya sebagai cucu, bukan sebagai pengganti ayahnya. Cucu yang dimaksud disini khusus cucu melalui anak laki-laki.
Berdasarkan pendapat diatas, maka cucu yang ayahnnya sudah terlebih dahulu meninggal dunia, tidak berhak menerima warisan kakeknya bila saudara laki-laki dari ayahnya itu ada yang masih hidup.
Sajuti Thalib mengemukakan pendapat bahwa ahli waris pengganti itu diambil dari pengertian mawali, maksudnya ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mereka yang menjadi mawali ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentu wasiat) dengan si pewaris.
Sajuti Thalib mendasarkan argumentasi atau pendapatnya pada ajaran kewarisan bilateral menurut Qur’an dan hadis khususnya dalam masalah cucu dengan menafsirkan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33, yang diuraikan dalam beberapa garis hukum, sebagai berikut :
a. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
b. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
c. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi ) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan
itu).
d. Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka
Dengan demikian menurut ajaran bilateral Hazairin yang dianut oleh Sajuti Thalib beserta murid-muridnya dikenal adanya lembaga bij plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.
Sedangkan menurut ajaran Syafi’i (patrilinial) dikenal juga penggantian sepanjang cucu melalui anak laki-laki bila tidak ada anak lakilaki yang bukan ayah dari cucu tersebut masih hidup.
Hukum Waris Islam memang tidak mengatur dengan tegas tentang penggantian ahli waris oleh karena itu masalah penggantian ahli waris dan kedudukan mereka dapat diketahui melalui perluasan maksudnya :
pengertian anak diperluas kepada cucu, pengertian ayah diperluas kepada kakek, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara. Dari dasar hukum mereka menjadi ahli waris, dapat mereka disebut sebagai ahli waris pengganti.
Ismuha mengutip pendapat dari Muhammad Amin Al-Asyi dalam kitabnya Khulaashah ‘Ilmi Al-Faraidl (terjemahannya) yang secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Yang menggantikan tempat orang lain dalam warisan. Anak laki-laki dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak lakilaki.
3. Nenek perempuan adalah seperti ibu.
4. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara seayah.
5. Saudara laki-laki seayah adalah seperti saudara laki-laki seibuseayah.
6. Saudara perempuan seayah adalah seperti saudara perempuan
seibu seayah, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu seayah.
Dalam mengemukakan fikirannya Hazairin berbeda pendapat dengan pendapat mujtahid terdahulu bahwa cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal menempati kedudukan ayahnya dalam mendapati harta warisan kakeknya. Cara pewarisan seperti ini disebut pewarisan secara penggantian yang dalam BW disebut pewarisan secara plaatsvervulling.
Garis hukum yang dijadikan dasar oleh Hazairin dalam menetapkan adanya sistem penggantian dalam hukum kewarisan Islam ialah firman
Allah surat An-Nisa ayat 33 yang disebut dengan ayat mawali, yang berbunyi: “Wa likullin ja’alna mawaaliya mimma taraka’lwaalidaani walaqrabuna, wa’lladzina’aqadat ‘aima nukum, fa atuhum nasibahum”.
Letak perbedaan pendapat antara Hazairin dengan para ulama
lainnya yaitu pada menafsirkan kata mawaaliya dan pada kedudukan perkataan waalidaani.
Menurut Hazairin kedudukan al-waalidaani adalah subjek dari kata kerja taraka. Oleh karena itu maka pengertian mawaaliya adalah cucu dari
anak yang sudah meninggal lebih dahulu, terhalang dengan adanya anak laki-laki lain yang masih hidup.
Menurut ulama lainnya, kedudukan perkataan alwaalidaani adalah penjelasan dari mawaaliya. Oleh karena itu tidak termasuk cucu yang ayahnya sudah meninggal lebih dahulu dalam hal pewaris masih
mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup.
Dalam bukunya Sarai’u al Islami IV, Ja’far Ibnu Husein yang dikutip oleh Amir Syarifuddin mengatakan bahwa Ahlu Sunnah membatasi ahli waris kerabat yang dikemukakan oleh golongan Si’ah kepada keturunan anak laki-laki saja.
Cucu melalui anak laki-laki menempati kedudukan anak laki-laki.Bila ia sendirian, ia mengambil semua harta. Bila bersama dalam jenis kelamin yang sama, mereka berbagi sama banyak dan bila berbeda kelamin, mereka berbagi dengan bandingan seorang laki-laki mendapat sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Bila disamping mereka ada ahli waris yang lain, mereka mendapat sisa harta sesudah pembagian ahli waris lain sebagai zul furud.

B.     Hukum Kewarisan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda.
1. Pengertian Hukum Kewarisan KUH Perdata
Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hokum memberikan atau mengemukakan tentang pengertian hukum
kewarisan KUHPerdata. . Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut :
a. A. Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah :
Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh di mati dan akibat dari hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubun gan antara mereka dengan pihak ketiga.
b. Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, mengemukakan:
Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturanperaturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentng kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
c. Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum
waris menurut dari ahli hukum yaitu ;
1) Mr. Dr.H.D.M.Knol, mengatakan bahwa :
Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih.
2) A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa :
Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.
3) Vollmar berpendapat bahwa :
Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajibankewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.
Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.
2. Unsur-unsur Hukum Kewarisan KUH Perdata
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :
a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan.
Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan
kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana peninggal warisan berada.
b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang
berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu . Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus
ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
c. Harta Warisan (nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersamasama berada.
3. Syarat-syarat Terjadinya Pewarisan
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu :
a. Syarat yang berhubungan dengan pewaris
Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 830 KUH Perdata.
Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi :
1) Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati.
2) Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.
b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris
Orang-orang yang berhak/ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
1) Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.
2) Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup.
Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).
4. Tidak Patut Menerima Warisan (Onwaardig).
Terdapatnya sebab-sebab menurut Undang-undang ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris.( Pasal 838,.. untuk ahli waris karena undang-undang dan
Pasal 912 untuk ahli waris karena adanya wasiat ).
a. Ahli waris menurut undang-undang yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan, dalam Pasal 838 KUH Perdata, adalah:
1) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
3) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
4) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
b. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan dalam Pasal 912 KUH Perdata, adalah :
1) Mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris.
2) Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
3) Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya.
5. Cara mendapat warisan
Undang-undang mengenal dua cara untuk mendapat suatu warisan yaitu :
a. Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang), dalam
Pasal 832 KUH Perdata.
Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak
menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.
b. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu
wasiat = testamen ), dalam Pasal 899 KUH Perdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen.60
6. Asas-asas Hukum Waris Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hokum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari
seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris.
e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

C.    Kedudukan  Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Perdata

Ahli waris pengganti dalam hukum waris Perdata dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam bahasa Belanda Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 s/d 857 dihubungkan dengan Pasal 860 dan Pasal 866. Adanya pasal-pasal ini menunjukkan kepada kita bahwa KUH Perdata mengenal dan mengakui adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.
Penggantian memberi hak kepada orang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 KUH Perdata
umpamanya : seorang cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa batas (Pasal 842 ayat 1). Dalam segala hal, penggantian seperti di
atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal beberapa orang anak pewaris, mewarisi bersama-sama satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya (Pasal 842 ayat 2).
Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun mereka dalam derajat yang tidak sama (Pasal 844).
Bila disamping ayah atau ibu yang masih hidup itu hanya ada seorang saudara, maka ayah atau ibu itu menerima ½ dan ½ lagi untuk saudara atau keturunannya.
Jadi dengan penggantian tempat (plaatvervulling), maka keturunan dari seseorang masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang digantinya, seandainya orang yang diganti masih hidup. Lalu undang-undang mengatakan bahwa dia yang menggantikan tempat akan memperoleh hak-hak (dan juga kewajiban) dari orang yang digantikannya, jika sekiranya ia tidak meninggal sebelum pewaris meninggal dunia.


Sumber---Tesis...TINJAUAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM
KEWARISAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN
KUH PERDATA Oleh PASNELYZA KARANI  ( Pasnelyza Karani,SH .Mkn )