Saturday, December 10, 2011

hukum kewarisan dan ahli waris pengganti



A.     Hukum Kewarisan berdasarkan hukum Islam

1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Hukum yang mengatur tentang peralihan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris dinamakan hukum kewarisan, yang dalam hokum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti : faraidl, Fiqih Mawaris, dan lain-lain, yang kesemua pengertiannya oleh para fuqaha (ahli hukum fiqh) dikemukan sebagai berikut :
a. Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah :
Suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.
b. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah :
Ilmu yng mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.
c. Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu :
Hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.
Dari defisini-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid sebagai ilmu yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya.
Kompilasi Hukum Islam yang tertuang dalam format perundangundangan yang mengatur ketentuan kewarisan dipakai sebagai pedoman dalam hukum kewarisan Islam.
2. Unsur-unsur Hukum Kewarisan
Menurut hukum kewarisan Islam ada tiga unsur yaitu :
a. Pewaris (Muwarit ).
Yaitu : Seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b mendefisikan Sebagai berikut :
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
b. Ahli Waris (Warits).
Yaitu : Orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan dengan pewaris, berupa hubungan kekerabatan, perkawinan atau hubungan lainnya.
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf c, menyatakan
ahli waris adalah : Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
c. Warisan (Mauruts)
Yaitu : Sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak.
3. Syarat-syarat mewaris
Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu :
a. Meninggal dunianya pewaris
Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi karena seseorang baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia yang berarti jika seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris.
Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan :
1). Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra.
2). Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah mati.
3). Mati taqdiry (menurut dugaan),
yaitu kematian yang didasarkan ada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
b. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia karena seseorang akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan.
c. Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris.
Tidak terdapat salah satu dari sebab terhalangnya seseorang untuk menerima warisan.
4. Sebab – sebab orang mewaris
Harta orang yang telah meninggal dunia dengan sendirinya berpindah kepada orang yang masih hidup yang mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal tersebut. Hubungan yang dimaksud adalah yang menyebabkan orang menerima warisan, yaitu:
a. Hubungan Kekerabatan
Hubungan kekerabatan adalah hubungan yang ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.
Hubungan kekerabatan dalam garis lurus kebawah (anak, cucu dan seterusnya), garis lurus keatas (ayah, kakek dan seterusnya), maupun garis kesamping (saudara-saudara) dan mereka saling mewaris satu sama lainnya sesuai dengan ketetapan Allah dalam Al-Qur’an, baik dari garis laki-laki/ayah maupun dari garis perempuan/ibu.
b. Hubungan Perkawinan
Hak saling mewaris antara suami istri yang disebabkan adanya hubungan hukum yaitu perkawinan. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami isteri didasarkan pada :
1). Adanya akad nikah yang sah.
2). Keduanya masih terikat perkawinan ketika salah satu meninggal dunia, termasuk juga isteri yang dalam masa iddah setelah di talak raji’i.
c. Hubungan Wala
Adalah hubungan antara seorang hamba dengan orang yang memerdekakannya, orang yang memerdekakan hamba dapat mewarisi harta hamba yang dimerdekakannya, berdasarkan ketentuan Rasul (Hadis).
d. Hubungan Seagama
Hak saling mewaris sesama umat Islam yang pelaksanaannya melalui Baitulmaal. Hubungan ini terjadi apabila seorang Islam meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, sehingga hartanya diserahkan ke Baitulmaal untuk digunakan oleh umat Islam.
5. Penghalang orang mewaris
Dalam hukum kewarisan Islam ada empat yang menjadi penghalang mewaris, yaitu :
a. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menjadi penghalang baginya untuk menerima warisan dari  pewaris. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah yakni hadits riwayat Ahmad yang artinya : “Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri,(begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak
menerima warisan”.
Pada dasarnya pembunuhan adalah kejahatan, namun demikian ada juga pembunuhan yang dilakukan dalam keadaan tertentu sehingga pembunuhan bukan menjadi suatu kejahatan, untuk itu
pembunuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1) Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu :
pembunuhan yang pelakunya tidak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau dosa, dapat dikategori dalam hal ini :
(a) Pembunuhan musuh dalam perang.
(b) Pembunuhan dalam pelaksanaan hukuman mati.
(c) Pembunuhan dalam membela jiwa, harta dan kehormatan.
2) Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu:
pembunuhan yang dilarang oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/atau akhirat, yang termasuk dalam kategori ini adalah :
 (a) Pembunuhan sengaja dan terencana, yaitu suatu pembunuhan yang pelaksanaannya terdapat unsure kesengajaan.
Sanksi dunia hukuman mati dalam bentuk Qishas (QS.Al-Baqarah (2) : 178).
Sanksi Akhirat Neraka Jahanam (QS. An-Nisa (4) : 92).
(b) Pembunuhan tersalah, yaitu pembunuhan yang tidak terdapat unsur kesengajaan tetapi membuat orang terbunuh.
Sanksi dunia berupa denda/diyat ringan yang harus  diserahkan kepada keluarga korban. Sanksi akhirat bebas.
(c) Pembunuhan seperti sengaja.
(d) Pembunuhan seperti tersalah.
Keduanya mendapatkan sanksi dunia berupa denda/diyat ringan yang harus diserahkan kepada keluarga korban.
Dari uraian tentang pembunuhan diatas maka yang merupakan sebab terhalangnya seseorang mewaris dari orang yang dibunuhnya adalah :
1) Pembunuhan yang memutus tali silaturrahmi.
2) Pembunuhan dengan tujuan mempercepat proses berlakunya kewarisan.
3) Pembunuhan yang merupakan kejahatan atau maksiat.
b. Berbeda Agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan ahli waris, sehingga tidak saling mewaris, misalnya pewaris muslim, ahli waris non muslim. Hal ini didasari oleh Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, yang artinya :
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam “.
c. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris, hal ini didasari pada kenyataan bahwa budak tidak memiliki kecakapan untuk bertindak, dengan kata lain budak tidak dapat menjadi subjek hukum. Al-Qur’an dalam surat An-Nahl ayat 75 menegaskan,
yang artinya : “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya/budak yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui “
Ayat diatas menegaskan bahwa seorang hamba sahaya/budak tidak cakap mengurusi hak miliknya dengan jalan apapun, karena tidak cakap berbuat maka budak tidak dapat mewaris. Sesungguhnya, pada masa sekarang berbicara tentang budak yang dikaitkan dengan persoalan kewarisan sudah tidak praktis karena masa sekarang perbudakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada jumlahnya sedikit.
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1/1991) pada Buku II, Pasal 173 menyatakan seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih besar.
6. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan dari hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini dapat
dikemukakan lima asas :
a. Asas Ijbari
yaitu peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
b. Asas Bilateral
Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c. Asas Individual
Bahwa harta warisan dapat dibag-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan, tidak
dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
d. Asas Keadilan Berimbang
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan bahwa factor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.
e. Asas Kewarisan Semata Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.
7. Ahli Waris Pengganti
Dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No.1 tahun 1991, ketentuan ahli waris pengganti dimuat dalam Pasal 185.
Hazairin menyimpulkan adanya sistem penggantian dalam hokum kewarisan Islam berdasarkan pada Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33 dengan istilah Mawali , yaitu ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.
Para mujtahid terdahulu pada umumnya berpendapat bahwa kelompok yang disebut sebagai ahli waris pengganti itu, hak yang mereka terima bukanlah hak yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya. Hal ini terlihat dalam contoh dibawah ini :
a. Bagian yang diterima oleh cucu laki-laki adalah sebagaimana yang diterima oleh anak-anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak
perempuan, tidak sebagaimana hak yang diterima oleh anak laki-laki yang digantikannya dan yang menghubungkannya kepada pewaris.
b. Kakek menerima bagian sebagaimana yang didapat oleh ayah, baik sebagai dzawil furud maupun sebagai ashabah. Tetapi kakek tidak berkedudukan sebagai ayah sebagaimana terlihat dalam beberapa
hal :
1) Ayah dapat menutup hak kewarisan saudara, tetapi kakek dapat mewaris bersama saudara, kecuali menurut ulama Hanafi, kakek juga menutup kewarisan saudara.
2) Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari sepertiga (1/3) harta menjadi sepertiga (1/3) dari sisa harta dalam masalah garawayni. Dalam hal ini kakek tidak dapat disamakan dengan ayah.
c. Hak kewarisan nenek tidak sama dengan hak kewarisan ibu, karena nenek dalam keadaan bagaimanapun tetap menerima seperenam
(1/6), sedangkan ibu kadang-kadang menerima sepertiga (1/3) yaitu bila pewaris tidak ada meninggalkan anak.
d. Saudara Seayah tidak sepenuhnya menempati kedudukan saudara kandung, sebagaimana terlihat dalam keadaan dibawah ini :
1) Saudara laki-laki kandung dapat menarik saudara perempuan kandung menjadi asabah sedangkan saudara seayah tidak dapat berbuat begitu.
2) Saudara kandung dapat berserikat dengan saudara seibu dalam masalah musyarakah, sedangkan saudara seayah tidak dapat diperlakukan demikian.
e. Anak saudara menerima warisan sebagai anak saudara, demikian
pula paman dan anak paman menerima hak dalam kedudukannya sebagai ahli waris tersendiri.
Khusus menyangkut dengan masalah cucu, dalam keadaan apapun mujtahid terdahulu tetap menempatkannya sebagai cucu, bukan sebagai pengganti ayahnya. Cucu yang dimaksud disini khusus cucu melalui anak laki-laki.
Berdasarkan pendapat diatas, maka cucu yang ayahnnya sudah terlebih dahulu meninggal dunia, tidak berhak menerima warisan kakeknya bila saudara laki-laki dari ayahnya itu ada yang masih hidup.
Sajuti Thalib mengemukakan pendapat bahwa ahli waris pengganti itu diambil dari pengertian mawali, maksudnya ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mereka yang menjadi mawali ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentu wasiat) dengan si pewaris.
Sajuti Thalib mendasarkan argumentasi atau pendapatnya pada ajaran kewarisan bilateral menurut Qur’an dan hadis khususnya dalam masalah cucu dengan menafsirkan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33, yang diuraikan dalam beberapa garis hukum, sebagai berikut :
a. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
b. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
c. Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi ) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan
itu).
d. Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka
Dengan demikian menurut ajaran bilateral Hazairin yang dianut oleh Sajuti Thalib beserta murid-muridnya dikenal adanya lembaga bij plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.
Sedangkan menurut ajaran Syafi’i (patrilinial) dikenal juga penggantian sepanjang cucu melalui anak laki-laki bila tidak ada anak lakilaki yang bukan ayah dari cucu tersebut masih hidup.
Hukum Waris Islam memang tidak mengatur dengan tegas tentang penggantian ahli waris oleh karena itu masalah penggantian ahli waris dan kedudukan mereka dapat diketahui melalui perluasan maksudnya :
pengertian anak diperluas kepada cucu, pengertian ayah diperluas kepada kakek, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara. Dari dasar hukum mereka menjadi ahli waris, dapat mereka disebut sebagai ahli waris pengganti.
Ismuha mengutip pendapat dari Muhammad Amin Al-Asyi dalam kitabnya Khulaashah ‘Ilmi Al-Faraidl (terjemahannya) yang secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Yang menggantikan tempat orang lain dalam warisan. Anak laki-laki dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak lakilaki.
3. Nenek perempuan adalah seperti ibu.
4. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara seayah.
5. Saudara laki-laki seayah adalah seperti saudara laki-laki seibuseayah.
6. Saudara perempuan seayah adalah seperti saudara perempuan
seibu seayah, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu seayah.
Dalam mengemukakan fikirannya Hazairin berbeda pendapat dengan pendapat mujtahid terdahulu bahwa cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal menempati kedudukan ayahnya dalam mendapati harta warisan kakeknya. Cara pewarisan seperti ini disebut pewarisan secara penggantian yang dalam BW disebut pewarisan secara plaatsvervulling.
Garis hukum yang dijadikan dasar oleh Hazairin dalam menetapkan adanya sistem penggantian dalam hukum kewarisan Islam ialah firman
Allah surat An-Nisa ayat 33 yang disebut dengan ayat mawali, yang berbunyi: “Wa likullin ja’alna mawaaliya mimma taraka’lwaalidaani walaqrabuna, wa’lladzina’aqadat ‘aima nukum, fa atuhum nasibahum”.
Letak perbedaan pendapat antara Hazairin dengan para ulama
lainnya yaitu pada menafsirkan kata mawaaliya dan pada kedudukan perkataan waalidaani.
Menurut Hazairin kedudukan al-waalidaani adalah subjek dari kata kerja taraka. Oleh karena itu maka pengertian mawaaliya adalah cucu dari
anak yang sudah meninggal lebih dahulu, terhalang dengan adanya anak laki-laki lain yang masih hidup.
Menurut ulama lainnya, kedudukan perkataan alwaalidaani adalah penjelasan dari mawaaliya. Oleh karena itu tidak termasuk cucu yang ayahnya sudah meninggal lebih dahulu dalam hal pewaris masih
mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup.
Dalam bukunya Sarai’u al Islami IV, Ja’far Ibnu Husein yang dikutip oleh Amir Syarifuddin mengatakan bahwa Ahlu Sunnah membatasi ahli waris kerabat yang dikemukakan oleh golongan Si’ah kepada keturunan anak laki-laki saja.
Cucu melalui anak laki-laki menempati kedudukan anak laki-laki.Bila ia sendirian, ia mengambil semua harta. Bila bersama dalam jenis kelamin yang sama, mereka berbagi sama banyak dan bila berbeda kelamin, mereka berbagi dengan bandingan seorang laki-laki mendapat sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Bila disamping mereka ada ahli waris yang lain, mereka mendapat sisa harta sesudah pembagian ahli waris lain sebagai zul furud.

B.     Hukum Kewarisan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda.
1. Pengertian Hukum Kewarisan KUH Perdata
Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hokum memberikan atau mengemukakan tentang pengertian hukum
kewarisan KUHPerdata. . Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut :
a. A. Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah :
Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh di mati dan akibat dari hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubun gan antara mereka dengan pihak ketiga.
b. Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, mengemukakan:
Bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturanperaturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentng kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
c. Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum
waris menurut dari ahli hukum yaitu ;
1) Mr. Dr.H.D.M.Knol, mengatakan bahwa :
Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih.
2) A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa :
Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.
3) Vollmar berpendapat bahwa :
Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajibankewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.
Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.
2. Unsur-unsur Hukum Kewarisan KUH Perdata
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :
a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan.
Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan
kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana peninggal warisan berada.
b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang
berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu . Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus
ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
c. Harta Warisan (nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersamasama berada.
3. Syarat-syarat Terjadinya Pewarisan
Untuk memperoleh warisan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu :
a. Syarat yang berhubungan dengan pewaris
Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 830 KUH Perdata.
Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi :
1) Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati.
2) Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.
b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris
Orang-orang yang berhak/ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan :
1) Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.
2) Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup.
Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata).
4. Tidak Patut Menerima Warisan (Onwaardig).
Terdapatnya sebab-sebab menurut Undang-undang ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris.( Pasal 838,.. untuk ahli waris karena undang-undang dan
Pasal 912 untuk ahli waris karena adanya wasiat ).
a. Ahli waris menurut undang-undang yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan, dalam Pasal 838 KUH Perdata, adalah:
1) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.
3) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
4) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
b. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan dalam Pasal 912 KUH Perdata, adalah :
1) Mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris.
2) Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris.
3) Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya.
5. Cara mendapat warisan
Undang-undang mengenal dua cara untuk mendapat suatu warisan yaitu :
a. Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang), dalam
Pasal 832 KUH Perdata.
Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak
menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.
b. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu
wasiat = testamen ), dalam Pasal 899 KUH Perdata. Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen.60
6. Asas-asas Hukum Waris Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hokum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari
seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris.
e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

C.    Kedudukan  Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Perdata

Ahli waris pengganti dalam hukum waris Perdata dikenal dengan istilah Penggantian tempat yang dalam bahasa Belanda Plaatsvervulling. Hal ini diatur dalam Pasal 854 s/d 857 dihubungkan dengan Pasal 860 dan Pasal 866. Adanya pasal-pasal ini menunjukkan kepada kita bahwa KUH Perdata mengenal dan mengakui adanya Plaatsvervulling atau penggantian ahli waris.
Penggantian memberi hak kepada orang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 KUH Perdata
umpamanya : seorang cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa batas (Pasal 842 ayat 1). Dalam segala hal, penggantian seperti di
atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal beberapa orang anak pewaris, mewarisi bersama-sama satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya (Pasal 842 ayat 2).
Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun mereka dalam derajat yang tidak sama (Pasal 844).
Bila disamping ayah atau ibu yang masih hidup itu hanya ada seorang saudara, maka ayah atau ibu itu menerima ½ dan ½ lagi untuk saudara atau keturunannya.
Jadi dengan penggantian tempat (plaatvervulling), maka keturunan dari seseorang masuk dalam hubungan hukum yang sama seperti orang yang digantinya, seandainya orang yang diganti masih hidup. Lalu undang-undang mengatakan bahwa dia yang menggantikan tempat akan memperoleh hak-hak (dan juga kewajiban) dari orang yang digantikannya, jika sekiranya ia tidak meninggal sebelum pewaris meninggal dunia.


Sumber---Tesis...TINJAUAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM
KEWARISAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN
KUH PERDATA Oleh PASNELYZA KARANI  ( Pasnelyza Karani,SH .Mkn )

No comments: