Saturday, December 31, 2011

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP PIDANA NASIONAL


BAB.I       PENDAHULUAN
Hukum pidana internasional sendiri bersumber dari dua bidang hukum yaitu, hukum internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum pidana nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional. Oleh karena itu, maka asas-asas hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum tersebut
  
BAB. II ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI     HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan  kesamaan derajat Negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas tersebut yang paling utama ini dapat diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah diakui didalam teori maupun praktek hukum dan hubungan internasional. Masing-masing asas tersebut meliputi :

2.1.     Asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat negara-negara
Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan hukum internasional. Turunan asas-asas ini meliputi :
-          Asas non intervensi,
-          Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara,
-          Asas hidup berdampingan secara damai ,
-          Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia,
-          Asas bahwa suatu Negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara lainnya,
-          Dan lain-lain.

Dari asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah hukum internasional yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan terhadap subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan Negara-negara pada khususnya yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.

Dalam hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah hukum pidana internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa larangan bagi suatu Negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas seseorang yang sedang berada di wilayah Negara lain yang diduga telah melanggar hukum pidana nasionalnya, kecuali Negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dsan kesamaan derajat Negara-negara. Salah satu contoh pelanggaran asas ini adalah tindakan Israel yang menculik Adolf Eichmann untuk membawa dan mengadili beliau di Israel.


2.2.     Asas non-intervensi
Menurut asas ini, suatu Negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri Negara lain, kecuali Negara itu menyetujuinya secara tegas. Jika suatu Negara, misalnya, dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi didalam suatu Negara lain tanpa persetujuan Negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi. Contoh konkrit dari pelanggaran asas non-intervensi adalah tindakan Israel mengintervensi Libanon pada tahun 1984 dan tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004.

2.3.    Asas hidup berdampingan secara damai
Asas ini menekankan kepada Negara-negara dalam menjalankan kehidupannya, baik secara internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secar damai, saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah atau sengketa yang timbul, antara dua atau lebih Negara, supaya diselsaikan secar damai. Wujud dari asas hiddup berdampingan secara damai adalah dapat dilihat dari pengaturan masalah-masalah internasional baik dalam ruang lingkup global, regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan,kesepakatan untuk mengatur masalah-masalah tertentu dalam perjanjian internasional.

2.4.     Asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
Asas ini membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara-negara atau seseorang tidka boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Contoh, sebuah Negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam hukum pidana, seperti undang-undang anti terorisme, dan lain-lain. Tidka boleh ada ketentuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Hal ini sudah tertuang dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Anti Penyiksaan, adalah salah satu contoh konvensi dalam bidang hukum pidana internasional yang secara langsung berkenaan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

BAB III.    ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL YANG BERASAL DARI HUKUM PIDANA NASIONAL
           
Asas-asas hukum pidana nasional Negara-negara pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana nasional Negara-negara adalah asas legalitas (asas nullum delictum dan asas culpabilitas. Dari kedua asas ini diturunkan beberapa asas lainnya dari hukum pidana nasional. Asas hukum pidana nasional yang diturunkan dari asas culpabilitas adalah asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan asas ne bis in idem.



3.1     Asas legalitas
Asas legalitas yang dikenal juga dengan nama asas nullum delictum noela poena sine lege , sebagai salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional Negara-negara, pada hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu perundangan-undangan pidana nasional. Tegasnya, seseorang untuk dapat diadili dan atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika terbukti bersalah ataupun dibebaskan dari tuntutan pidana jika tidak terbukti bersalah, haruslah didasarkan pada pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)  Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 
Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
  1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang) 
  2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
  3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).


3.2     Asas non-retroactive
Asas non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindakan pidana didalam hukum atau perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah Negara menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut.

3.3     Asas culpabilitas
Asas ini yang juga merupakan salah satu asas utama dari hukum pidana nasional Negara-negara menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika kesalahannya tidak berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan, dari tuntutan pidana.

3.4     Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent)
Menurut asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak bersalah, denagn segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya.


3.5     Asas ne bis in idem
Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau diajtuhi putusan untuk yang kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali atas perbuatan yangdialkukannya. Adapun dasar pertimbangannya adalah, karena dia akan sangat dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastiqan hukum.
Perlu ditegaskan disini, bahwa putusan badan peradilan itu bisa saja berupa putusan penghukuman ataupun putusan pembebasan atau pelepasan terhadap dirinya. Jika dia sudah diputuskan dengan sanksi pidana tertentu dan sudah selesai dilaksanakan, maka sesudahnya dia akan kembali seperti orang biasa pada umumnya, dengan segala hak dan kewajibannya.

Kewajiban suatu Negara (termasuk badan peradilannya) untuk menghormati Negara lain (termasuk badan peradilan dan perutusannya), berdasarkan pada asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan, derajat Negara-negara. Seperti telah dikemukakan diatas. Tegasnya, setiap Negara wajib menghormati segala apa yang dilakukan oleh suatu Negara di dalam batas-batas wilayahnya. Termasuk dalam mengadili dan memutuskan suatu kasus yang dilakukan oleh badan peradilannya. Oleh karena itu, proses pemeriksaan suatu perkara dihadapan badan peradilan nasionalnya serta putusannya sendiri juga harus dihormati. Jika ini dilanggar, maka sama artinya dengan tidak menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara.

BAB.VI  ASAS-ASAS HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN WAKTU
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu :
  1. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
  2. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.
Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :

1. Asas Teritorial.
Asas ini diatur dalam KUHP yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan :  
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia. 
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :  
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

2. Asas Personal (nasional aktif).
Pasal 5 KUHP menyatakan :
(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
 Sekalipun rumusan Pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif)
karena Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional.
3.                  Asas Perlindungan (nasional pasif)
        
 Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
  1. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1). 
  2. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2).
  3. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3).
  4. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
4. Asas Universal.
           Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
  1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
  2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial. 
  3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya. 
  4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.

 

No comments: